Ekonomi Biru menitikberatkan pada inovasi, teknologi dan pemanfaatan optimal yang memerlukan upaya sistematis untuk meningkatkan nilai tambah produk-produk perikanan. Ini dapat terjadi dengan memunculkan kebijakan di tingkat hilir dan menaikkan kapasitas sumber daya manusia. Jadi tidak sekedar menjual produk mentah. Hal itu disampaikan oleh Rizal Idrus, Dosen Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin (Unhas), dalam Seminar Nasional bertajuk “Ekonomi Biru dan Revitalisasi Perikanan” yang digelar oleh Universitas Hasanuddin, pada 6 Juni 2022. Seminar ini menjadi rangkaian dari acara Rapat Koordinasi Nasional Himpunan Mahasiswa Perikanan Indonesia (HIMAPIKANI) yang berlangsung pada 5-10 Juni 2022, di Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. “Peran kearifan lokal juga penting didorong agar kian berperan dan menjadi rujukan dalam upaya konservasi,” lanjut Idrus.
Menurutnya, kerangka kerja ekonomi biru yang didorong Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengakui pentingnya pelibatan masyarakat (community engagement) yang melihat peran substansial masyarakat pesisir yang selama ini mempraktikkan kegiatan ekonomi berkelanjutan dan menghasilkan berbagai manfaat sosial. Kerangka kerja Pembangunan Ekonomi Biru untuk transformasi ekonomi Indonesia telah disusun oleh Bappenas pada 2021 lalu dalam sebuah dokumen bertajuk, “Blue Economy Development Framework for Indonesia’s Economic Transformation”. Pembangunan Ekonomi Biru diarahkan untuk mengoptimalkan modalitas Indonesia sebagai negara kepulauan, yakni berupa keragaman sumber daya laut dan posisi ekonomi-politik negara yang strategis di kawasan. Pengelolaan sumber daya dan ekosistem laut diarahkan pada upaya mengatasi tantangan degradasi, perubahan iklim, dan pencemaran, serta kerentanan sosial ekonomi masyarakat pesisir yang terkena dampak berbagai perubahan di ekosistem laut dan pesisir.
Menanggapi hal tersebut, Mida Saragih, Ocean Policy Specialist dari Yayasan EcoNusa, menjelaskan bahwa ke depan diharapkan akan terselenggara Ekonomi Biru yang inklusif dan berkelanjutan. Secara khusus, pengakuan hukum adat dan hak masyarakat adat pesisir dalam pemanfaatan sumber daya laut menjadi sangat penting bagi Indonesia. Banyak masyarakat adat pesisir dan nelayan tradisional yang sudah mempraktikkan pemanfaatan lestari lewat tradisi, seperti sasi di Maluku dan egek di Papua Barat.
Dalam hal ini, penghidupan masyarakat harus diletakkan di bagian inti dari pertanggungjawaban negara untuk melindungi, memulihkan, dan mempertahankan sumber daya kelautan untuk generasi mendatang. “Dengan mendukung praktik-praktik pelestarian alam dan budaya tersebut, kita mempromosikan keberlanjutan dan penyejahteraan masyarakat,” kata Mida. Mida menambahkan, dalam penyelenggaraan Ekonomi Biru, rencana kebijakan Penangkapan Ikan Terukur untuk mengizinkan penanaman modal asing dan badan usaha asing mendapatkan kontrak pemanfaatan perlu disikapi dengan penuh kehati-hatian. Apalagi sumber daya ikan rentan terhadap praktik-praktik eksploitasi serta menyangkut hajat hidup orang banyak. “Selain itu, perlu pertimbangan yang utuh, tidak hanya aspek ekonomi, tapi perlu juga mempertebal aspek people dan sustainability agar diatur secara eksplisit di dalam kebijakan negara,” lanjut Mida.
Seminar Nasional HIMAPIKANI dihadiri oleh Mida Saragih, Ocean Policy Specialist EcoNusa sebagai pembicara kunci bersama perwakilan Dirjen Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Ridwan Mulyana, Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan, Muhammad Ilyas, Kepala Dinas KKP Provinsi Sulawesi Selatan, dan Rizal Idrus, Dosen FIKP Universitas Hasanudin. Acara tersebut juga dihadiri Dekan FIKP serta 111 anggota HIMAPIKANI dari berbagai kampus di Indonesia.
Dalam tanggapannya, Sekretaris Jenderal HIMAPIKANI, Jan Tuhuteru, menyatakan, sektor perikanan harus dikelola secara lestari agar selaras dengan tujuan-tujuan Ekonomi Biru. Pemerintah sudah saatnya fokus pada pemulihan stok ikan nasional yang sudah kritis di beberapa Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Tujuannya agar indikator stok ikan yang berwarna merah (over exploited) bisa menjadi kuning (fully exploited), dan bisa menjadi hijau (moderate). “Harapannya, produktivitas perikanan tangkap tetap terjaga bahkan meningkat sehingga bisa tetap menyejahterakan nelayan-nelayan kita,” kata Jan.
Indonesia mempunyai potensi sangat tinggi untuk mendorong transformasi dan diversifikasi ekonomi kelautan. Sektor berbasis laut dan sumber daya perikanan telah memberikan kontribusi signifikan terhadap dinamika ekonomi negara. Namun, Indonesia masih perlu mengelola lautnya dengan lebih baik. The Ocean Health Index (OHI) menempatkan Indonesia di peringkat 137 dari 221 negara. Artinya, sektor kelautan kegiatan di sektor kelautan yang sebagian besar didorong oleh praktik pemanenan pangan laut dan pariwisata yang tidak berkelanjutan (OHI, 2020). Berbagai faktor termasuk polusi, terutama plastik, dan dampak perubahan iklim yang menyebabkan degradasi ekosistem laut, telah memengaruhi kesehatan ekosistem laut dan sektor ekonomi utama seperti pariwisata dan perikanan.
EcoNusa bersama beberapa organisasi masyarakat sipil yang tergabung di dalam KORAL telah mengajukan kritik terkait kebijakan penangkapan ikan terukur yang mendorong sistem penangkapan berbasis kuota dan kontrak terbuka bagi badan usaha asing dan penanaman modal asing. KORAL juga memberikan rekomendasi kepada KKP untuk memperkuat pengawasan, melaksanakan perizinan di sektor perikanan tangkap, memperkuat rekomendasi berbasis sains untuk pengkajian stok ikan, dan menutup kegiatan penangkapan ikan dari intrusi kapal asing. KORAL terdiri dari Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Pandu Laut Nusantara, EcoNusa, KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan), WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), Greenpeace Indonesia, ICEL (Indonesian Center of for Environmental Law), Destructive Fishing Watch (DFW), dan Yayasan Terangi.
******
Sumber Utama: EcoNusa (Koalisi KORAL)