Foto: Ditjen Perikanan Budidaya KKP/Mongabay Indonesia
Sobat KORAL masih ingatkah dengan wacana Pemerintah terkait adanya pembukaan kembali ekspor Benih Bening Lobster (BBL) ini?
Baca juga : KEMBALI DIBUKA, EKSPOR BENIH BENING LOBSTER (BBL) UNTUNGKAN RUMAH SENDIRI ATAU PIHAK ASING ?
Rencana Pemerintah untuk kembali membuka Benih Bening Lobster (BBL) semakin mengerucut dengan berlangsungnya harmonisasi Rancangan Peraturan Menteri Kelautan tentang Penangkapan, Pembudidayaan dan Pengelolaan Lobster (Panurilus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Kompas (20/02/2024) menyebutkan rancangan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Rapermen-KP) tersebut memuat ketentuan investor memperoleh benih bening lobster melalui kerja sama dengan Badan Layanan Umum Perikanan Budidaya (BLU PB). Tiga BLU PB yang telah ditunjuk oleh KKP antara lain: BLU Jepara, Situbondo dan Karawang.
Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Teknologi Muhammadiyah Jakarta, Suhana, menyebutkan peran BLU PB sebagai pembeli benih dan juga penjual yang satu-satunya dapat melakukan ekspor ke luar negeri—rentan dengan praktik monopoli. Bahkan pemerintah dapat menjadi pelaku bisnis ekspor, sehingga mekanisme kontrol sulit untuk diwujudkan. Dengan BLU PB menjadi pelaku tunggal pembelian dan penjualan benih lobster–ini berpotensi bertentangan dengan UU Persaingan Usaha.
Sobat KORAL, menimbang berbagai dinamika publik terhadap rencana ekspor benih lobster. Tentu kita perlu mendesak agar Pemerintah untuk menghentikan penyusunan permen KP untuk ekspor benih lobster, fokus pada pembinaan pembudidaya di dalam negeri dan pemutakhiran data stok benih dan jumlah yang boleh ditangkap.
Data dasar yang serba minim malah akan menambah resiko kesalahan pengambilan kebijakan, karena data yang ada itu menjadi rujukan data kuota penangkapan benih bening lobster di seluruh wilayah pengelolaan perikanan.
Susan Herawati selaku Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Rakyat menyoroti adanya kerugian yang mungkin akan timbul akibat kembali dibuka ekspor benih lobster ini.
“Kalau kita sumber dayanya habis, secara produksi juga tidak akan bertambah. Kemudian kemampuan untuk mengelola atau membesarkan lobster tidak akan berkembang, stagnan saja karena semua sumber dayanya diekspor,” katanya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (6/2).
Pemerintah harus kembali menimbang pentingnya mengkaji ulang alasan-alasan yang hanya menimbulkan efek buruk. Perlu adanya pertimbangan alternatif lain yang lebih berkelanjutan dalam mengelola sumber daya kelautan. Tidak hanya itu, Pemerintah harus menyelesaikan pengolahan dan pemasaran hingga distribusi untuk memastikan kelancaran rantai pasok hilirisasi SDA Kelautan RI. Dalam skala yang besar seperti ini, penting untuk giat menunjukkan pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan yang berdampak pada keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat pesisir.
Menurut Piter Abdullah selaku Direktur Eksekutif Segara Research Institute, dengan mengekspor benih lobster, Indonesia justru membesarkan industri perikanan negara lain. Bisa saja suatu saat nanti yang terjadi Indonesia tidak lagi memiliki lobster karena benihnya habis diekspor, tapi akhirnya negara lain yang memiliki lobster. Piter menduga Pemerintah berencana kembali mengekspor benih lobster semata hanya untuk kepentingan eksportir. Lalu apa guna hilirisasi, jika pemilik kekayaan tidak memiliki garansi menikmati sumber daya alamnya secara berkelanjutan?
Sobat KORAL, dengan problema yang terjadi ini, Pemerintah harus fokus dan mempertimbangkan bahwa membuka kembali ekspor benih bening lobster akan bertentangan dengan semangat hilirisasi terkait penguatan struktur industri perikanan dari hulu ke hilir.
Bagaimana sobat KORAL setuju atau tidak dengan proyek ekspor benih bening lobster ini dengan segala resiko habisnya sumber daya lobster di perairan? Jangan sampai mimpi buruk datang kembali, seperti kasus lama terulang kembali (korupsi) yang dilakukan mantan Menteri KKP Eddy Prabowo.
***