Pemerintah belum sepenuhnya melindungi nelayan, khususnya awak kapal nelayan Indonesia yang bekerja di dalam dan luar negeri. Sebanyak 232 awak kapal nelayan menjadi korban selama dua tahun, dari tahun 2020 hingga 2022. Mereka menjadi korban kerja paksa dan perdagangan manusia sebagai akibat dari kurangnya perlindungan hukum, kebijakan, dan program bagi awak kapal penangkap ikan.
Destructive Fishing Watch Indonesia mendesak pemerintah Indonesia untuk mengadopsi standar internasional yang mengatur tentang perlindungan awak kapal penangkap ikan, khususnya konvensi International Labour Organization 188/2007, dan melengkapi aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia.
Imam Trihatmadja, Koordinator Program Hotspot DFW Indonesia, menyatakan jumlah korban awak kapal penangkap ikan meningkat seiring dengan banyaknya pengaduan yang masuk ke Balai Nelayan Nasional. “Pengungkapan kasus ABK di berbagai media dan oleh aparat penegak hukum dalam beberapa tahun terakhir tidak berdampak nyata terhadap pengelolaan perlindungan ABK,” kata Imam. Pusat Nelayan Nasional menerima sembilan pengaduan dari 33 korban selama kuartal pertama tahun ini. “Dari tahun 2020 hingga Maret 2022, kami menerima 77 pengaduan dari awak kapal nelayan, sehingga mengakibatkan 232 korban jiwa,” jelas Imam. Korbannya antara lain yang meninggal, yang hilang, yang cacat, dan yang selamat. Imam merinci 44,16% dari 77 pengaduan tersebut berasal dari ABK migran, sedangkan 55,84% berasal dari ABK domestik. “Pengaduan yang paling sering dari ABK adalah gaji yang tidak dibayar, asuransi dan jaminan sosial, dan penipuan,” kata Imam.
Selain itu, pihaknya juga mengkritik lambatnya respon pemerintah Indonesia terhadap pengaduan yang disampaikan awak kapal penangkap ikan. “Ditjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan tidak menanggapi atau menyelesaikan 44,16% pengaduan awak kapal migran,” kata Imam. Selain itu, Pusat Nelayan Nasional memuji Kementerian Kelautan dan Perikanan atas tanggapannya yang cepat terhadap keluhan dari awak kapal domestik. “Tingkat penyelesaian pengaduan KKP cukup tinggi, yaitu 55,84%,” kata Imam.
Pusat Nelayan Nasional adalah platform online yang dikelola DFW Indonesia untuk pengaduan awak kapal penangkap ikan. “Anggota migran dan awak domestik telah banyak menggunakan platform ini. Kami telah menerima pengaduan dari ABK WNI di Taiwan, Kepulauan Pasifik, Afrika, Muara Baru, Dobo, Benoa, dan Bitung,” kata Imam.
Koordinator DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan meminta pemerintah mempertimbangkan ratifikasi konvensi ILO 188/2007 tentang perlindungan awak kapal penangkap ikan. “Kerangka regulasi nasional perlindungan awak kapal penangkap ikan saat ini masih parsial, terfragmentasi di berbagai sektor, dan sulit dikoordinasikan,” kata Abdi. Pengesahan ini akan memperjelas peran dan fungsi agen tenaga kerja untuk mengatur secara komprehensif tata kelola awak kapal penangkap ikan yang bekerja di dalam dan luar negeri. “Berbeda dengan saat ini, tidak ada lembaga yang sepenuhnya tanggap dan menimbulkan kebingungan bagi pekerja ketika menuntut tanggung jawab perlindungan dari negara,” kata Abdi. Yang juga mengherankan, pemerintah belum juga menerbitkan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penempatan dan Perlindungan Awak Kapal Penangkap Ikan Migran. “Awak kapal penangkap ikan migran berjumlah ratusan ribu dan membutuhkan perlindungan dari tahap rekrutmen oleh manning agent. Kalau hulunya dibiarkan berantakan dan tidak bisa dikelola, maka jangan heran jika korbannya terus berjatuhan,” pungkas Abdi.
Nelayan dan awak kapal penangkap ikan menjadi tulang punggung penggerak ekonomi maritim yang turun langsung di lapangan. Kesejahteraan mereka bukan hanya menjadi mandat yang harus diselesaikan dan dipenuhi oleh pemerintah, tetapi juga menjadi bukti bahwa pemerintah betul-betul ingin membenahi dan menyejahterakan stakeholder terpenting dalam sektor perikanan dan kelautan ini.
******