Dalam data yang dikeluarkan oleh Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), sebanyak 88,28% nelayan kecil yang tersebar di puluhan provinsi dan kabupaten/ kota di Indonesia dan mereka belum mendapatkan akses terhadap bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi hingga 2021. Agaknya ini masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah di tahun 2022 hingga memasuki tahun 2023. Contohnya saja ribuan nelayan di Palu, Sulawesi yang terpaksa tidak bisa melaut karena ditolak SPBU saat membeli bahan bakar dengan jerigen karena surat pengantar dari pemerintah daerah setempat belum diakomodir (Berita Satu, 24 Januari 2023). Padahal jika berkaca pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 sudah ditegaskan bahwa penyediaan fasilitas bahan bakar bagi nelayan merupakan kewajiban Pemerintah.
Selama ini, BBM bersubsidi sendiri sudah diperuntukkan bagi nelayan kecil dengan kapal berukuran dibawah 10 GT. Ada beberapa syarat administrasi yaitu berupa dokumen yang harus dibawa ketika akan melakukan pembelian BBM yaitu surat rekomendasi dengan memiliki pas kecil (izin melaut) dan bukti Pencatatan Kapal (BPKP) yang dikeluarkan oleh pelabuhan. (Baca: Nelayan Tenggelam dalam Problematika Bahan Bakar) dan akan terdata di Kartu Pelaku Usaha Kelautan dan Perikanan (KUSUKA). Namun nyatanya hingga sekarang tidak semua nelayan di seluruh daerah mendapatkan kemudahan dan kelancaran dalam mendapatkan BBM bersubsidi. Masih banyak nelayan kecil yang kesulitan mendapatkan BBM bersubsidi karena masalah kerumitan administrasi.
KKP Revisi Regulasi Terkait BBM Subsidi, Apakah Sudah Tepat?
Baru-baru ini saat kunjungannya ke lokasi Pelabuhan di Jembrana, Bali, Menteri Kelautan dan Perikanan (Menteri KP) Sakti Wahyu Trenggono mengatakan bahwa akan merevisi regulasi yang menyulitkan nelayan untuk mendapatkan BBM subsidi. Regulasi yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2021. Sakti mengatakan regulasi terkait izin kapal akan berubah (Detik.com, 24 Januari 2023) yaitu acuan GT yang awalnya menjadi acuan untuk mendapatkan BBM bersubsidi akan diganti menjadi kuota tangkap ikan, sehingga pengurusan izin untuk menurutnya akan menjadi lebih mudah. Namun apakah hal ini tepat?
Perubahan syarat GT menjadi kuota tangkap rasanya kurang tepat karena yang dipermasalahkan adalah persyaratan administrasi dan akses fasilitas BBM bagi nelayan yang masih sulit didapatkan. Kesannya, Pemerintah segampang itu untuk merevisi aturan. Padahal implementasi program dan kebijakan yang selama ini dibuat dan sedang dijalankan saja belum maksimal. Alih-alih merevisi regulasinya, kenapa tidak Pemerintah berupaya lebih keras untuk memaksimalkan program dan kebijakan yang sudah ada dengan:
- Syarat dan ketentuan administrasi bagi nelayan kecil: nelayan kecil sebagai mayoritas penopang hasil produksi perikanan perlu dipermudah akses untuk mendapatkan kelengkapan syarat administrasi serta fasilitas khusus untuk bisa mendapatkan BBM bersubsidi. Hal ini dikarenakan nelayan kecil tersebar di berbagai pelosok pesisir dan tak jarang yang jauh dari Pelabuhan utama atau kantor Pemerintahan setempat. Maka dibutuhkan upaya lebih dengan “menghadirkan” perwakilan Pemerintah ke lokasi-lokasi nelayan, bukan hanya di kantor atau Pelabuhan utama saja.
- Infrastruktur penyaluran BBM bersubsidi: dalam proses penyaluran BBM bersubsidi, banyak nelayan yang mengeluhkan mengenai fasilitas pembelian BBM bersubsidi yang jauh dari wilayah pesisir dan banyaknya oknum “pemain” tidak bertanggung jawab. Salah satu contohnya, ada 2 APMS di Pulau Masalembu, Jawa Timur. Realita yang dihadapi nelayan di sana adalah sewaktu kapal tanker yang membawa BBM datang, pihak pengelolanya telah melakukan pembagian kuota dan hingga jatah BBM telah dibagi-bagi. Bahkan BBM yang dibawa kapal tersebut juga langsung berpindah ke pulau sekitarnya. Pun jika kemudian ada yang bisa di jual (didistribusikan), nelayan hanya bisa membeli maksimal 10 liter per hari. Tentunya jumlah ini tidak cukup, karena pemakaian BBM nelayan kecil per hari dapat mencapai 20-30 liter solar.
Dalam jurnal singkat bertajuk “Menelaah Kembali Target PNBP Perikanan Rp 12 Triliun” yang dirilis ahli kelautan dan perikanan, Dr.Suhana, S.Pi, M.Si, diungkap bahwa nilai produksi perikanan tangkap tahun 2020 sekitar 92,73% merupakan nilai hasil tangkapan dari kapal perikanan berizin provinsi, yang terdiri dari 78,73% bersumber dari kapal berizin TDKP (<10 GT). Didominasi oleh nelayan kecil, sudah layak dan sepantasnya, Pemerintah memperhatikan nelayan kecil sebagai penyumbang nilai produksi terbesar. Namun melihat kurang optimalnya penyaluran BBM bersubsidi bagi nelayan kecil, tentunya muncul pertanyaan apakah rencana KKP untuk merevisi peraturan ini adalah kiat yang dilakukan untuk mengaburkan perbedaan distingtif antara nelayan besar dengan nelayan kecil, guna memuluskan proses implementasi Penangkapan Ikan Terukur (PIT) saja?
Tentunya dengan demikian, akan berujung pada pengaburan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh nelayan besar (diatas 10 GT) dan semakin tersingkirnya nelayan kecil. Apalagi saat ini Pemerintah sedang gencar-gencarnya “mengiklankan” program kebijakan Penangkapan Ikan Terukur dan sistem kuota di kalangan investor, pengusaha perikanan, dan publik. Semoga saja niat tersebut hanya sebatas dugaan dan Pemerintah bisa menunjukkan komitmen akan peraturan dan program yang mereka buat sendiri dengan mengupayakan penyaluran BBM bersubsidi ke nelayan kecil dengan optimal dan transparan, bukan dengan sedikit-sedikit revisi peraturan.
***