Foto: DERY RIDWANSAH/ JAWAPOS.COM
Insiden pulau Rempang kembali memanas pada September 2023 dipicu adanya rencana pembangunan Rempang Eco City. Proyek Rempang Eco City merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) kerjasama antara pemerintah Kota Batam dengan PT. Makmur Elok Graha, sejak tahun 2004 lalu. Sobat KORAL, apakah kalian ingat fokus tujuan pembangunan Rempang Eco City ini berpihak kemana?
Sejak awal pembangunan proyek Rempang Eco City, pemerintah Batam tidak meninjau fokus masalah yang terjadi, sehingga banyak menuai konflik dengan masyarakat. Proyek pembangunan Rempang Eco city mengakibatkan 7.500 jiwa harus direlokasi dan mengancam eksistensi 16 kampung adat yang ada di Pulau Rempang sejak 1834. Usulan relokasi tersebut membuat warga kecewa, seolah-olah pemerintah buta dengan mata pencaharian warga sekitar adalah nelayan yang sangat jelas sekali bergantung hidup dengan laut.
Penting untuk dicatat bahwa proyek ini diakui sebagai “Program Strategis Nasional” dengan target investasi mencapai Rp381 Triliun pada tahun 2080. Namun, keberlanjutan proyek pembangunan Rempang Eco City menjadi semakin di ujung tanduk dengan ditemukannya kurangnya keterlibatan masyarakat pulau-pulau kecil dalam penyusunan izin AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) yang dapat menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan sekitar dan kontradiktif dengan tujuan program strategis nasional.
Baca juga : KETEGANGAN DI PULAU REMPANG: ATAS NAMA INVESTASI, SEMUA BISA “DIATASI” – PART 2
Warga menggelar aksi bela Rempang sebagai respon penolakan atas penggusuran lahan secara paksa oleh aparat negara. Cara Pemerintah yang seolah tidak kompromi menyebabkan ketegangan dengan warga sekitar. Warga Pulau Rempang menunjukkan bahwa mereka ingin mempertahankan keadilan dan hak-hak mereka sebagai warga Pulau Rempang. Namun sebanyak 30 dari 35 warga yang terlibat aksi bela Rempang tersebut justru ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat pasal Pasal 212, Pasal 213, Pasal 214, dan/atau Pasal 170 KUHP.
Merujuk pada Resolusi Komisi HAM PBB (2009) terkait Basic Principles and Guidelines on Development-Based Eviction Displacement A/HRC/18, paragraf ke-6 Pemerintah bisa dikatakan melakukan pelanggaran HAM berat atas penggusuran terhadap warga Pulau Rempang. Mengingat isi resolusi tersebut menyatakan bahwa penggusuran paksa merupakan bentuk pelanggaran HAM berat, yang diakui secara internasional, karena hak atas perumahan yang layak, makanan, air, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, kebebasan bergerak dan keamanan adalah hak asasi setiap orang. Menjadi sebuah tanda tanya besar mengenai proyek nasional dengan nilai fantastis namun dalam pembangunannya melanggar HAM ribuan jiwa masyarakat lokal yang sudah menempati Pulau Rempang bahkan dari sebelum Indonesia merdeka. Konflik pembangunan Rempang Eco City harus segera diatasi dengan adil. Prioritas utama pemerintah harusnya pada masyarakat yang langsung terdampak. Dengan adanya evaluasi kembali dan diskusi kembali dengan warga Pulau Rempang diharapkan mereka tidak kehilangan mata pencaharian mereka di laut. Bagaimanapun laut merupakan kekayaan alam yang boleh dan bisa diakses oleh warga Indonesia sendiri. Sobat KORAL melihat isu yang kembali memanas seperti ini apakah aksi pemerintah sudah tepat selama ini atau pemerintah kebal terhadap regulasi yang ada?
***